Peran Intelektual Progresif dalam Mewujudkan Pendidikan yang Ilmiah, Demokratis, dan Mengabdi Pada Rakyat
Oleh : Raja Amar1
Pendidikan adalah proses dialektika manusia untuk mengembangkan akal pikirnya, menyelesaikan problem-problem social dalam masyarakat dan menemukan hipotesa-hipotesa baru yang kontekstual dengan perkembangan zaman. Pengertian tersebut menegaskan bahwa pendidikan bukan sekedar belajar-mengajar, proses belajar-mengajar adalah bagian dari pendidikan. Pendidikan dalam arti sebenarnya ini akan selalu mendorong perkembangan paradigma yang juga menggerakkan roda peradaban ke arah yang lebih maju secara dialektis.
Tahun ini, 2012 abad 21 dan tahun serta abad sebelumnya, pendidikan mengalami disorientasi . institusi berserta mayoritas intelektualnya berbondong-bondong membicarakan kemalasan, hedonisme, dan pelarian-pelarian mahasiswa beserta peserta didik lainnya. Tindakan anarkis dari peserta didik tersebut bukan tanpa sebab, hokum sebab-akibat dari persoalan ini adaalah kejenuhan peserta didik dalam proses pendidikan formalnya. Pemaksaan orang tua dan lingkungan sosial yang mengaharuskan seorang mengakses pendidikan hingga jenjang yang tertinggi. Sedangkan, akses tersebut dihargai juga dipersyaratkan diantaranya uang dan nilai (modal). Nilai baik di Sekolah Dasar adalah modal untuk melanjutkan Sekolah Menengah Pertama dan selanjutnya. Sedikit berbeda pada nilai SMA yang harus ditambahkan hasil kerja produksi orang tua utnuk dapat mengakses perguruan tinggi, hal ini mewujudkan candu pendidikan (diulas oleh Eko Prasetyo dalam buku Sekolah itu Candu). Proses sistemik dan berlarut-larut membuahkan diorientasi pada peserta didik, tidak lagi pemahaman akan materi, konsep, apalagi pengembangan amat terlalu jauh. Value oriented yang dapat dicapai tanpa pemahaman apapun, berbagai jalan pintas tersedia di negri yang komersil ini.
[i]
Orientasi pada nilai an-sich juga menghasilkan frustasi pada mayoritas mahasiswa yang seharusnya menjadi Intelektual Progresif. Ditambah lagi system social di dalam kelas yang memposisikan dosen sebagai nabi dan para pengikut ini mendengarkan doktrin serta dogma ilmu kekinian. Hilanglah keilmiahan dari teori-teori yang seharusnya dipahami secara mendalam dan proses perkuliahan menjadi ajang klarifikasi pemahaman. Untuk ini penulis secara pribadi mengapresiasi proses pembelajaran discovery berbasis studi kasus yang sedang dikembangkan. Metode pengajaran ini yang menghasilkan pembelajaran bukan penguliahan.
Penyelesaian atas persoalan tersebut dapat terkonsepkan dalam pendidikan yang mengedepankan ke-ilmiah-an, demokratis, dan mengabdi pada rakyat (people).
– Pendidikan yang mengedepankan ke-ilmiahan-an berarti pendidikan yang sesuai dengan kondisi objektif serta mengkritisi teori dari berbagai sudut pandang (engels). Pendidikan ilmiah dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan peradaban manusia karena materinya berkembang secara kontekstual melalui berbagai konsep teori, bukanlah dogma dan candu pendidikan. Peserta didik diciptakan sebagai pengembang dan pencipta, buka tenaga kerja ahli ataupun buruh murah (menimbulkan dampak sistemik batu, diulas dalam Kajian Wajib Mahasiswa Abad 21)
– Pendidikan demokratis berarti pendidikan yang dalam proses belajarnya memberikan posisi sejajar pada mahasiswa dan dosen serta pada system institusionalnya. Memberikan ruang pada intelektual (Mahasiswa dan Dosen) sebagai penentu kebijakan bersama dengan birokrat perguruan tinggi. Sehingga, dengan leluasa peserta didik dan pengajar mengeksplorasi ide, bagi peserta didik tidak terbatasi ketakutan konsekuensi nilai, dll. Terjadilah kuliah sebagai ajang klarifikasi pemahaman .
– Pendidikan yang mengabdi pada rakyat memberikan orientasi sesungguhnya bagi peserta didik, disamping tujuan personal setiap peserta didik melalui mekanisme pembelajaran. Orientasi ini juga sebagai alat untuk mengikis pola budaya individualistic perserta didik dan mengembalikan esensi pendidikan yang bukan kepuasan pribadi. Sudah seharusnya peserta didik memiliki tanggung jawab ganda dalam kehidupan, yaitu tanggung jawab pribadi seorang manusia dan tanggung jawab social dalam menciptakan progress perkembangan masyarakat (diulas dalam Sejarah Perkembangan Masyarakat). Orientasi ini mengharuskan peserta didik untuk menciptakan dan mengembangkan konsep dengan memahaminya terlebih dahulu. The rule : Kenali keadaan, Pegang prinsip, bertindak penuh inisiatif.
Peran Intelektual Progresif
Universitas dan beberapa perguruan tinggi lain merupakan institusi yang memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan dibandingkan pendidikan dasar dan menengah, sehingga tepat menjadi objek perubahan (suwardjono). Disamping itu Universitas memiliki intelektual yang mengkaji tentang konsep dan pemahaman yang lebih luas beserta akses informasinya. Walaupun minoritas intelektual yang senantiasa berdinamika sesuai kaidah pendidikan, beberapa kalangan yang sebenarnya memiliki cikal bakal perubahan yang selanjutnya disebut intelektual progresif. Berasal dari akademisi baik dosen maupun mahasiswa, intelektual progresif harus mengambil peran atas situasi ini untuk mengkritisi agar terwujud perubahan kea rah yang lebih baik. Walaupun terhambat oleh birokrat yang tidak jauh berbeda dengan institusi lainnya, Intelektual progresif diharuskan juga memiliki kemampuan berperan dalam lingkup terkecil hingga yang terbesar. Sehingga bentuk perjuangan bukan sekedar reaksi sesaat(re-actioner movement). Namun juga proses untuk tujuan jangka panjang yang berarti perjuangan jangka panjang dipadukan dengan target-target kongkrit temporer. Hal tersebut mengharuskan gerak dalam bidang ganda tak terpisahkan yaitu gerak berdasarkan tanggung jawab socialnya dan gerak berdasarkan tanggung jawab pribadi sebagai alat survival dalam kerusakan system pendidikan (diulas dalam materi Pendidikan Pra Anggota Front Mahasiswa Nasional – Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
– Tanggung jawab social
Atas situasi pendidikan yang melahirkan paradigm pembelajaran yang tidak tepat diperlukan adanya kesamaa persepsi pembelajaran mengenai metode, tujuan, dan regulasi yang mendukungnya. Dalam hal ini Intelektual progresif berperan mendorong birokrasi dan penentu kebijakan hingga tingkat regulator tertinggi agar menciptakan iklim yang menyuburkan perkembangan paradigma peserta didik sehingga menemukan belajar sebagai mekanisme ekploitasi teori dan terwujud ilmu yang meningkatkan derajat manusia beradab dan lebih beradab.
Kongkritnya tergambar pada contoh riil kasus di bawah ini :
Telah ditetapkan batasan presensi 75% sebagai prasyarat ujian. Bukankah ini bentuk pemaksaan bagi peserta didik untuk hadir dalam perkuliahan tanpa memperdulikan orientasi kehadirannya, pemahaman materi, dll. Hukuman tidak diperbolehkan ikut ujian lebih mengerikan dibandingkan harus memikirkan pemahaman materi.
Dalam situasi ini nilai semakin diagungkan dan menjadi control paling mengerikan bagi mahasiswa. Tidak ujian berarti nilai dipertaruhkan. Kehadiran mahasiswa hanya karena takut tidak boleh ikut ujian sehingga paham atau tidak yang penting absen. Semakin maraklah istilah “Titip Absen”. Tidak bisa dipungkiri bahwa paradigma ini telah membudaya di kalangan mahasiswa. Walaupun tidak semua, tapi mayoritas. Adapun mahasiswa yang sadar akan pentingnya memahami materi meskipun terus diterpa oleh keadaan sosialnya, seperti, banyaknya tugas demi mendorong mayoritas, mahasiswa ini akan memberatkan bagi mahasiswa yang sudah sadar (paham materi). Tipe mahasiswa sadar akan merasa mengulang dan memang benar mengulang pekerjaan yang sama, memperdalam yang sudah mendalam, bukan klarifikasi. Sedangkan tidak diperbolehkan baginya untuk tidak hadir dalam kuliah agar dapat mengembangkan hal lain seperti mengikuti seminar, berpraktek, penelitian, pelatihan, dll. Mirisnya ketika mahasiswa tersebut tidak memenuhi prasyarat presensi dan tidak diperbolehkan ikut ujian. Bukan mengada-ada tapi kemungkinan yang terjadi atas system.
Presensi 75% dianggap menjadi indicator kelayakan perserta ujian. Padahal tidak ada jaminan kehadiran 100% berarti memahami materi perkuliahan. Anehnya justru kebijakan ini diatur oleh Undang-undang dan standar akreditasi. Atas dasar hal tersebut perlu adanya langkah perbaikan.
Solusi
Meskipun demikian mahasiswa tidak dapat di-liberlalisasi, karena pada kalangan mayoritas paradigm yang terbangun masih kurang tepat seperti yang digambarkan suwardjono dalam Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi : Dari Penguliahan ke Pembelajaran. Sehingga syarat kehadiran minimal 75% tidak secara mutlak dihilangkan, namun tidak sebagai indicator kelayakan peserta ujian (syarat ujian).
Menyikapi kemampuan dasar kesarjanaan yang ditawarkan suwardjono yang mencakup baca (read), menulis(write), mendengar(listen), dan bicara(speak). Maka sebaiknya diciptakan indicator lain disamping batasan presensi 75% sebagai filter.
Bagi mahasiswa yang kehadiran di kelas kurang dari 75% diharuskan mempresentasikan materi tertentu sebagai syarat mengikuti ujian jika presentasi tersebut dinilai layak oleh dosen dan mahasiswa lain. Presentasi tersebut hendaknya dilaksanakan secara terbuka dengan konsep mini seminar, sehingga mahasiswa lain dapat mendengarkan, bertanya, atau menjadi resume materi untuk persiapan ujian. Bagi presenter akan dapat mengembangkan kemampuan bicara(speak), memahami pertanyaan yang diajukan, menulis materi sebelum presentasi sebagai TOR (Term Of Reference), dan tentunya membaca(read) untuk mengembangkan materi sebelum presentasi. Hal ini juga tidak mengakibatkan mahasiswa bersikap pasrah saat kehadirannya kurang dari 75%, apalagi penyebab ketidakhadiran hal-hal yang urgent dan un-predictable.
Selain hal di atas mahasiswa dan dosen juga bekerjasama dalam menciptakan system social yang mendukung dalam lingkup wewenangnya.
– Tanggung jawab pribadi
Sebagaimana seorang yang paham akan situasi dan kondisi terebut di atas, tidaklah bijaksana kita mengikuti kefrustasian yang merupakan anak kandung dari kesalahan system pendidikan. Malas dan keluhan budaya lainnya sudah dipahami adalah hal yang lazim dalam situasi sekarang. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri harus memiliki taktik yang dapat menjaga ritme semangat perkuliahan dan belajar sebagai peserta didik.
Pada praktek kongkrit mahasiswa banyak mengandalkan semangat dalam melakukan berbagai aktivitas. Sayangnya, semangat yang dibangun tidak berdasarkan prinsip yang kuat. Prinsip yang merupakan tujuan jangka panjang untuk dapat diturunkan ke dalam program tiap semester hingga day to day bahkan aktivitas setiap waktu. Contoh simplenya, Jika ingin lulus 4 tahun dengan predikat cumlaude maka berapa Indeks Prestasi Semester dan Kumulatif di semester II, III, IV, dst. Mata kuliah apa yang harus diperbaiki atau diambil, berapa nilai mata kuliah tersebut, apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan nilai tersebut. Pada satu titik taktik, kenali keadaan, pegang prinsip, bertindak penuh inisiatif. Landasan ini yang dapat diingat sebagi penjaga ritme pembelajaran melalui semua media dan peluang yang dapat diakses seta memahami tujuan, peluang, setiap mata kuliah. Berikutnya, jika saya akan wisuda tahun 2013 dengan IPK 3,15 maka berapa nilai mata kuliah SPM yang harus saya dapatkan?
Dengan demikian terwujudlah keselarasan tujuan individu, kelompok, dosen, mahasiswa, birokrasi, karyawan dan terwujud Goal Congruence dalam institusi pendidikan.
Dapatkah perilaku belajar anda berubah secara radikal?
Tanpa keradikalan tidak akan ada perubahan, namun dibutuhkan syarat-syarat dari perubahan yang akan saya ciptakan sehingga usaha-usaha perubahan akan terus berjalan. Segala sesuatu pasti berubah kecuali perubahan itu sendiri.
Apa yang paling mengusik anda dari gagasan dalam artikel ini?
Kemampuan berbahasa asing, kemampuan berbahasa belanda dengan baik pada masa kolonialisme merupakan alat bukti keterpelajaran seseorang. Bahassa tersebut sebagai pembuka skat informasi dunia. Saat ini di era globalisasi peran bahasa internasional sebagai alat akses informasi tentunya semakin penting. Maka, setelah ini hal yang akan saya lakukan adalah mempelajari kembali bahasa internasional.
1Penulis “Kajian Wajib Mahasiswa Abad 21”, “Jalan Buntu Pendidikan Indonesia”, “Peran Intelektual Progresif dalam Mewujudkan Pendidikan yang Ilmiah, Demokratis, dan Mengabdi Pada Rakyat”