Panduan Kuliah Perdana

MARILAH BERPIKIR DAN JADILAH INTELEKTUAL PROGRESIF

Pada hakekatnya pendidikan merupakan bagian dari kebutuhan umat manusia. Sejatinya pendidikan merupakan wadah untuk kita berpikir dan ber-dealiktika untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau memanusiakan manusia. Tapi apakah benar pendidikan kita hari ini benar­­-benar sesuai dengan kebutuhan umat manusia?? Mari kita berpikir sejenak, benarkah  seperti itu? Indikator keberpihakan pendidikan dalam memanusiakan manusia atau hanya kepentingan kelompok penguasa dapat dinilai melalui realita pendidikan kita. Kepentingan kelompok tersebut menghasilkan output pendidikan yang hanya berperan sebagai pelengkap jajaran pekerja ahli, terdidik, murah yang semakin membengkak jumlahnya, pelengkap koleksi pengangguran dunia bermasyarakat.

Seperti apakah realita pendidikan kita?

  1. 1.    Komersialisasi atas hak dasar pendidikan

Setiap insan, individu, mahkluk berakal yang sering disebut manusia memiliki hak untuk berpikir. Pendidikan merupakan landasan manusia untuk mendapatkan pola berpikir objektif dan ilmiah. Perkembangan peradaban manusia dapat bergulir dengan cepat dan tepat melalui instrumen pendidikan yang tepat, sehingga akses pendidikan harus didapatkan oleh setiap manusia tanpa melihat kekayaan, klas sosial, dsb.

Pada kenyataannya akses hak atas pendidikan telah dibatasi, yang memalukan pembatasan tersebut berdasarkan seberapa kaya orang tua calon peserta didik. Apakah hal tersebut pernah terpikir oleh kita atau kita sadari?

Tak jauh, bahkan di tempat kita mengakses pendidikan saat ini, Universitas maupun Sekolah Tinggi secara nyata menjelaskan pertanyaan di atas. Dengan sepihak sekolah tinggi ini mengharuskan pembayaran tagihan dengan konsekuensi Ujian Tengah Semester tidak dapat dilaksanakan bagi mahasiswa yang telat membayar. Artinya, penilaian awal dilakukan dengan melihat kemampuan peserta didik untuk membayar SPP.

Hal tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa pendidikan sedah menjadi ajang bisnis.

  1. 2.    Orientasi fasilitas pendidikan yang minim

Pendidikan yang beralih fungsi menjadi ladang bisnis menghantarkan akibat yang sangat memberatkan bagi peserta didik sebagai orang yang berhak. Ladang bisnis dengan orientasi profit mengharuskan minimalisasi biaya. Alhasil, fasilitas pendidikan kita sangat minimalis. Jumlah komputer yang bukan lagi barang tersier di kampus ini saja hanya beberapa, pengunaan ruang kelas yang dibatasi, kipas reot ala ‘70an. Dengan besaran uang pembangunan yang diberikan setiap tahun dan berjuta setiap mahasiswanya dan beratus jumlah mahasiswanya sama sekali tidak menunjukan peningkatan fasilitas yang signifikan. Betulkan itu uang pembangunan? Lalu apa yang dibangun?

  1. 3.    Pemaksaan penggunaan akses pendidikan yang menciptakan pengkerdilan kreatifitas peserta didik.

Pemberlakuan presensi 75% seakan-akan menjadi langkah itikad baik agar peserta didik mendapatkan pemahaman yang komprehensif di kelas. Namun, berbanding terbalik, kebijakan ini justru menjadi tekanan bagi peserta didik yang berangkat kuliah hanya untuk formalitas dan tak mementingkan ilmu.

Di samping hal itu presensi 75% juga memberikan batasan bagi kaum terpelajar kritis untuk mendapatkan ilmu selain yang diberikan di dalam kelas. Sedangkan ilmu tidak hanya didapatkan di dalam kelas. Pengalaman berorganisasi juga tak kalah pentingnya dengan perkuliahan, keduanya saling menopang. Sedangkan di dalam organisasilah mahasiswa dapat mempraktekkan dan menguji teori yang didapatkan. Dengan adanya presensi 75% mengakibatkan ketimpangan proporsi teori dan praktek peserta didik.

Ketika Realita hari ini yang membenarkan bobroknya sistem pendidikan yang jauh dari hakekatnya. Apa yang akan dilakukan kaum intelektualnya? Jika peran pendidikan sudah diluar hakekatnya tentu dampak yang sangat besar  terhadap aspek kehidupan kita ataupun umat manusia umumnya. What’s to be done?

Bangkit, berorganisasi, dan berjuang. Memulai dari persoalan-persoalan pendidikan yang ada disekitar kita, bukan hanya di sekitar kita tetapi kita juga yang sedang terkena dampaknya saat ini.

Pendidikan di Kota (Istimewa) Pendidikan

Raja Amar*

Hari ini pendidikan sudah menjadi kodrat yang merupakan kewajiban manusia untuk ditunaikan. Pendidikan telah disebut-sebut untuk memanusiakan manusia. Jika dikaji lebih jauh pendidikan memiliki arti dasar yang fundamental, pendidikan yang tidak hanya diartikan sebagai proses belajar mengajar. Pendidikan adalah proses dealiktika manusia untuk mengembangkan akal pikirnya untuk menyelesaikan problem-problem sosial dalam masyarakat dan menemukan hipotesa-hipotesa baru yang kontekstual dengan perkembangan zaman. Pendidikan menjadi tonggak penyokong terciptanya generasi muda suatu bangsa dan negara. Sehingga mutlak hukumnya pendidikan dapat diakses oleh setiap benda bernyawa.

Perundang-undangan tingkat tinggi seperti batang tubuh dan pasal 31 UUD’45, mengatur dengan jelas tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tanpa diskriminasi. Tidak terkecuali diskriminasi secara ekonomi.

            Hal di atas menjadi landasan teoritis dalam sektor pendidikan yang akan menjadi dasar analisa situasi pendidikan yang berlangsung saat ini. Pembahasan akan banyak melihat potret pendidikan di DIY, karena disamping sebutannya sebagai kota pelajar juga merupakan daerah istimewa. Perlu dicermati bahwa DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) bukanlah daerah terpencil di Indonesia. Seharusnya dapat dipastikan tidak luput dari panca indera manusia normal yang duduk di pemerintahan.

Meskipun demikian, daerah ini tidak terlepas dari bobroknya sistem pendidikan di Indonesia.  Program-program pendidikan gratis di SD, SMP, hingga SMA belum terealisasi dengan baik. Masih banyak terjadi pungutan-pungutan dari pihak sekolah kepada peserta didik. Belum lagi kebijakan sekolah gratis yang bergema kemana-mana tersebut tidak diimbangi dengan pengadaan fasilitas yang layak. Perlu diingat bahwa pendidikan tanggung jawab negara, barang tentu fasilitas yang dibutuhkan disediakan oleh negara. Tidak berarti “gratis” sehingga fasilitas yang disediakan sangat minim. Salah satu contohnya kondisi sekolah di kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, ruang kelasnya saja sangat tidak layak. Beberapa waktu lalu di kabupaten Bantul, Yogyakarta, terjadi sengketa lahan tempat didirikannya SMA N 17. Akibat sengketa tersebut peserta didik yang sedang mempersiapkan Ujian Nasional harus belajar di luar sekolah. Jelas ini mengganggu ketenangan dan proses pendidikan siswa.

Pendidikan jenjang Strata 1 (Universitas)

Akses pendidikan di perguruan tinggi tidak kalah penting, tingkat pendidikan ini juga bagian dari proses awal pembangunan generasi selanjutnya. Untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan berbangsa dan pengembangan suatu negara, pendidikan tingkat universitas tidak bisa dikesampingkan. Pembangunan kerangka berpikir yang lebih dinamis, inovatif, dan spesifik diberikan pada tingkat pendidikan ini. Disamping itu akses pendidikan hingga tingkatan tertinggi masih merupakan hak dari manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya.

“Kerjalah ilmu hingga negeri Cina, Gapailah ilmu setinggi-tinggi”

 

Namun, fakta-fakta ironis jenjang pendidikan strata 1 dan selanjutnya justru sangatlah kental. Diskriminasi dan komersialisasi pendidikan tergambar jelas didepan mata. Biaya yang membumbung tinggi adalah bentuk diskriminasi peserta didik secara ekonomi. Orientasi Universitas kini tidak lagi mencerdaskan kehidupan bangsa. Universitas yang merupakan institusi pendidikan justru memiliki prosedur awal penandatanganan perjanjian biaya yang harus dibayar. Seakan-akan terjadi jual beli pendidikan yang tidak lain adalah wujud kongkrit komersialisasi pendidikan.

Pendidikan menjadi barang komoditi yang dengan daya tawar yang tinggi. Berbagai universitas sudah mulai berlomba-lomba meningkatkan kualitasnya dengan tujuan menarik ceceran modal yang akan segera disetorkan oleh calon-calon mahasiswa. Tentunya orientasi ini mengakibatkan melangitnya biaya pendidikan. Faktanya uang gedung untuk masuk universitas saja, saat ini berada pada kisaran 2 juta – 100 juta bahkan bidang-bidang tertentu lebih dari 100 juta. Biaya tersebut belum termasuk SPP (yang rata-rata >1 juta tiap semester), SKS, Kemahasiswaan, KKN, Laboraturium, dll.

Tingginya biaya pendidikan menjadi sistem seleksi utama masyarakat kalangan menengah kebawah untuk dapat melanjutkan pendidikan.  Sebagai parameter mahalnya biaya pendidikan maka dapat dilakukan matching dengan pendapatan per kapita dan UMP(Upah Minimum Provinsi). Nominal tersebut sangat tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Yogyakarta yang memiliki UMP dibawah Rp 900.000,00. Ditambah lagi upah pekerja DIY secara praktek masih banyak yang berada di bawah penetapan UMP. Terbukti dari jumlah angka kemiskinan di DIY yang masih tinggi, padahal kategori kemiskinan ditetapkan dengan Garis Kemiskinan yang sangat rendah. Contohnya pada september 2011 terdapat 564.230 jiwa yang berada di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan Rp257.909 per kapita per bulan diperkotaan, pendapatan penduduk di perdesaan dipastikan lebih rendah dari Rp257.909 per kapita per bulan. Jumlah angka kemiskinan tersebut akan meningkat tajam apabila dihitung dengan standar kemiskinan International sebesar $2 per hari atau $60 per bulan.

Gambaran di atas menegaskan pendidikan yang tidak terjangkau oleh mayoritas penduduk di DIY. Ketidaksesuaian biaya dan pendapatan di tingkatan rakyat telah menjatuhkan rakyat pada lingkaran kemiskinan. Tanpa legitimasi pendidikan formal yang mahal itu, maka terjadi penurunan daya tawar manusia terhadap lapangan pekerjaan. Efek domino tersebut akan melanjutkan kenaikan angka kemiskinan. Berlandaskan argumen di atas memunculkan pertanyaan besar, Bagaimana peran pemerintah daerah “istimewa” Yogyakarta untuk terselenggaranya pendidikan bagi seluruh rakyat?

Peran Intelektual Progresif dalam Mewujudkan Pendidikan yang Ilmiah, Demokratis, dan Mengabdi Pada Rakyat (Progress and Survive in Campus)

Peran Intelektual Progresif dalam Mewujudkan Pendidikan yang Ilmiah, Demokratis, dan Mengabdi Pada Rakyat

Oleh : Raja Amar1

Pendidikan adalah proses dialektika manusia untuk mengembangkan akal pikirnya, menyelesaikan problem-problem social dalam masyarakat dan menemukan hipotesa-hipotesa baru yang kontekstual dengan perkembangan zaman. Pengertian tersebut menegaskan bahwa pendidikan bukan sekedar belajar-mengajar, proses belajar-mengajar adalah bagian dari pendidikan. Pendidikan dalam arti sebenarnya ini akan selalu mendorong perkembangan paradigma yang juga menggerakkan roda peradaban ke arah yang lebih maju secara dialektis.

Tahun ini, 2012 abad 21 dan tahun serta abad sebelumnya, pendidikan mengalami disorientasi . institusi berserta mayoritas intelektualnya berbondong-bondong membicarakan kemalasan, hedonisme, dan pelarian-pelarian mahasiswa beserta peserta didik lainnya. Tindakan anarkis dari peserta didik tersebut bukan tanpa sebab, hokum sebab-akibat dari persoalan ini adaalah kejenuhan peserta didik dalam proses pendidikan formalnya. Pemaksaan orang tua dan lingkungan sosial yang mengaharuskan seorang mengakses pendidikan hingga jenjang yang tertinggi. Sedangkan, akses tersebut dihargai juga dipersyaratkan diantaranya uang dan nilai (modal). Nilai baik di Sekolah Dasar adalah modal untuk melanjutkan Sekolah Menengah Pertama dan selanjutnya. Sedikit berbeda pada nilai SMA yang harus ditambahkan hasil kerja produksi orang tua utnuk dapat mengakses perguruan tinggi, hal ini mewujudkan candu pendidikan (diulas oleh Eko Prasetyo dalam buku Sekolah itu Candu). Proses sistemik dan berlarut-larut membuahkan diorientasi pada peserta didik, tidak lagi pemahaman akan materi, konsep, apalagi pengembangan amat terlalu jauh. Value oriented yang dapat dicapai tanpa pemahaman apapun, berbagai jalan pintas tersedia di negri yang komersil ini.

[i]

Orientasi pada nilai an-sich juga menghasilkan frustasi pada mayoritas mahasiswa yang seharusnya menjadi Intelektual Progresif. Ditambah lagi system social di dalam kelas yang memposisikan dosen sebagai nabi dan para pengikut ini mendengarkan doktrin serta dogma ilmu kekinian. Hilanglah keilmiahan dari teori-teori yang seharusnya dipahami secara mendalam dan proses perkuliahan menjadi ajang klarifikasi pemahaman. Untuk ini penulis secara pribadi mengapresiasi proses pembelajaran discovery berbasis studi kasus yang sedang dikembangkan. Metode pengajaran ini yang menghasilkan pembelajaran bukan penguliahan.

Penyelesaian atas persoalan tersebut dapat terkonsepkan dalam pendidikan yang mengedepankan ke-ilmiah-an, demokratis, dan mengabdi pada rakyat (people).

–          Pendidikan yang mengedepankan ke-ilmiahan-an berarti pendidikan yang sesuai dengan kondisi objektif serta mengkritisi teori dari berbagai sudut pandang (engels). Pendidikan ilmiah dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan peradaban manusia karena materinya berkembang secara kontekstual melalui berbagai konsep teori, bukanlah dogma dan candu pendidikan. Peserta didik diciptakan sebagai pengembang dan pencipta, buka tenaga kerja ahli ataupun buruh murah (menimbulkan dampak sistemik batu, diulas dalam Kajian Wajib Mahasiswa Abad 21)

–          Pendidikan  demokratis berarti pendidikan yang dalam proses belajarnya memberikan posisi sejajar pada mahasiswa dan dosen serta pada system institusionalnya. Memberikan ruang pada intelektual (Mahasiswa dan Dosen) sebagai penentu kebijakan bersama dengan birokrat perguruan tinggi. Sehingga, dengan leluasa peserta didik dan pengajar mengeksplorasi ide, bagi peserta didik tidak terbatasi ketakutan konsekuensi nilai, dll. Terjadilah kuliah sebagai ajang klarifikasi pemahaman .

–          Pendidikan yang mengabdi pada rakyat memberikan orientasi sesungguhnya bagi peserta didik, disamping tujuan personal setiap peserta didik melalui mekanisme pembelajaran. Orientasi ini juga sebagai alat untuk mengikis pola budaya individualistic perserta didik dan mengembalikan esensi pendidikan yang bukan kepuasan pribadi. Sudah seharusnya peserta didik memiliki tanggung jawab ganda dalam kehidupan, yaitu tanggung jawab pribadi seorang manusia dan tanggung jawab social dalam menciptakan progress perkembangan masyarakat (diulas dalam Sejarah Perkembangan Masyarakat). Orientasi ini mengharuskan peserta didik untuk menciptakan dan mengembangkan konsep dengan memahaminya terlebih dahulu. The rule : Kenali keadaan, Pegang prinsip, bertindak penuh inisiatif.

Peran Intelektual Progresif

Universitas dan beberapa perguruan tinggi lain merupakan institusi yang memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan dibandingkan pendidikan dasar dan menengah, sehingga tepat menjadi objek perubahan (suwardjono). Disamping itu Universitas memiliki intelektual yang mengkaji tentang konsep dan pemahaman yang lebih luas beserta akses informasinya. Walaupun minoritas intelektual yang senantiasa berdinamika sesuai kaidah pendidikan, beberapa kalangan yang sebenarnya memiliki cikal bakal perubahan yang selanjutnya disebut intelektual progresif. Berasal dari akademisi baik dosen maupun mahasiswa, intelektual progresif harus mengambil peran atas situasi ini untuk mengkritisi agar terwujud perubahan kea rah yang lebih baik. Walaupun terhambat oleh birokrat yang tidak jauh berbeda dengan institusi lainnya, Intelektual progresif diharuskan juga memiliki kemampuan berperan dalam lingkup terkecil hingga yang terbesar. Sehingga bentuk perjuangan bukan sekedar reaksi sesaat(re-actioner movement). Namun juga proses untuk tujuan jangka panjang yang berarti perjuangan jangka panjang dipadukan dengan target-target kongkrit temporer. Hal tersebut mengharuskan gerak dalam bidang ganda tak terpisahkan yaitu gerak berdasarkan tanggung jawab socialnya dan gerak berdasarkan tanggung jawab pribadi sebagai alat survival dalam kerusakan system pendidikan (diulas dalam materi Pendidikan Pra Anggota Front Mahasiswa Nasional – Tentang Sistem Pendidikan Nasional).

–    Tanggung jawab social

Atas situasi pendidikan yang melahirkan paradigm pembelajaran yang tidak tepat diperlukan adanya kesamaa persepsi pembelajaran mengenai metode, tujuan, dan regulasi yang mendukungnya. Dalam hal ini Intelektual progresif berperan mendorong birokrasi dan penentu kebijakan hingga tingkat regulator tertinggi agar menciptakan iklim yang menyuburkan perkembangan paradigma peserta didik sehingga menemukan belajar sebagai mekanisme ekploitasi teori dan terwujud ilmu yang meningkatkan derajat manusia beradab dan lebih beradab.

Kongkritnya tergambar pada contoh riil kasus di bawah ini :

Telah ditetapkan batasan presensi 75% sebagai prasyarat ujian. Bukankah ini bentuk pemaksaan bagi peserta didik untuk hadir dalam perkuliahan tanpa memperdulikan orientasi kehadirannya, pemahaman materi, dll. Hukuman tidak diperbolehkan ikut ujian lebih mengerikan dibandingkan harus memikirkan pemahaman materi.

Dalam situasi ini nilai semakin diagungkan dan menjadi control paling mengerikan bagi mahasiswa. Tidak ujian berarti nilai dipertaruhkan. Kehadiran mahasiswa hanya karena takut tidak boleh ikut ujian sehingga paham atau tidak yang penting absen. Semakin maraklah istilah “Titip Absen”. Tidak bisa dipungkiri bahwa paradigma ini telah membudaya di kalangan mahasiswa. Walaupun tidak semua, tapi mayoritas. Adapun mahasiswa yang sadar akan pentingnya memahami materi meskipun terus diterpa oleh keadaan sosialnya, seperti, banyaknya tugas demi mendorong mayoritas, mahasiswa ini akan memberatkan bagi mahasiswa yang sudah sadar (paham materi). Tipe mahasiswa sadar akan merasa mengulang dan memang benar mengulang pekerjaan yang sama, memperdalam yang sudah mendalam, bukan klarifikasi. Sedangkan tidak diperbolehkan baginya untuk tidak hadir dalam kuliah agar dapat mengembangkan hal lain seperti mengikuti seminar, berpraktek, penelitian, pelatihan, dll. Mirisnya ketika  mahasiswa tersebut tidak memenuhi prasyarat presensi dan tidak diperbolehkan ikut ujian. Bukan mengada-ada tapi kemungkinan yang terjadi atas system.

Presensi 75% dianggap menjadi indicator kelayakan perserta ujian. Padahal tidak ada jaminan kehadiran 100% berarti memahami materi perkuliahan. Anehnya justru kebijakan ini diatur oleh Undang-undang dan standar akreditasi. Atas dasar hal tersebut perlu adanya langkah perbaikan.

 

Solusi

Meskipun demikian mahasiswa tidak dapat di-liberlalisasi, karena pada kalangan mayoritas paradigm yang terbangun masih kurang tepat seperti yang digambarkan suwardjono dalam Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi : Dari Penguliahan ke Pembelajaran. Sehingga syarat kehadiran minimal 75% tidak secara mutlak dihilangkan, namun tidak sebagai indicator kelayakan peserta ujian (syarat ujian).

Menyikapi kemampuan dasar kesarjanaan yang ditawarkan suwardjono yang mencakup baca (read), menulis(write), mendengar(listen), dan bicara(speak). Maka sebaiknya diciptakan indicator lain disamping batasan presensi 75% sebagai filter.

Bagi mahasiswa yang kehadiran di kelas kurang dari 75% diharuskan mempresentasikan materi tertentu sebagai syarat mengikuti ujian jika presentasi tersebut dinilai layak oleh dosen dan mahasiswa lain. Presentasi tersebut hendaknya dilaksanakan secara terbuka dengan konsep mini seminar, sehingga mahasiswa lain dapat mendengarkan, bertanya, atau menjadi resume materi untuk persiapan ujian. Bagi presenter akan dapat mengembangkan kemampuan bicara(speak), memahami pertanyaan yang diajukan, menulis materi sebelum presentasi sebagai TOR (Term Of Reference), dan tentunya membaca(read) untuk mengembangkan materi sebelum presentasi. Hal ini juga tidak mengakibatkan mahasiswa bersikap pasrah saat kehadirannya kurang dari 75%, apalagi penyebab ketidakhadiran hal-hal yang urgent dan un-predictable.

Selain hal di atas mahasiswa dan dosen juga bekerjasama dalam menciptakan system social yang mendukung dalam lingkup wewenangnya.

 

–          Tanggung jawab pribadi

Sebagaimana seorang yang paham akan situasi dan kondisi terebut di atas, tidaklah bijaksana kita mengikuti kefrustasian yang merupakan anak kandung dari kesalahan system pendidikan. Malas dan keluhan budaya lainnya sudah dipahami adalah hal yang lazim dalam situasi sekarang. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri harus memiliki taktik yang dapat menjaga ritme semangat perkuliahan dan belajar sebagai peserta didik.

Pada praktek kongkrit mahasiswa banyak mengandalkan semangat dalam melakukan berbagai aktivitas. Sayangnya, semangat yang dibangun tidak berdasarkan prinsip yang kuat. Prinsip yang merupakan tujuan jangka panjang untuk dapat diturunkan ke dalam program tiap semester hingga day to day bahkan aktivitas setiap waktu. Contoh simplenya, Jika ingin lulus 4 tahun dengan predikat cumlaude maka berapa Indeks Prestasi Semester dan Kumulatif di semester II, III, IV, dst. Mata kuliah apa yang harus diperbaiki atau diambil, berapa nilai mata kuliah tersebut, apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan nilai tersebut. Pada satu titik taktik, kenali keadaan, pegang prinsip, bertindak penuh inisiatif. Landasan ini yang dapat diingat sebagi penjaga ritme pembelajaran melalui semua media dan peluang yang dapat diakses seta memahami tujuan, peluang, setiap mata kuliah. Berikutnya, jika saya akan wisuda tahun 2013 dengan IPK 3,15 maka berapa nilai mata kuliah SPM yang harus saya dapatkan?

Dengan demikian terwujudlah keselarasan tujuan individu, kelompok, dosen, mahasiswa, birokrasi, karyawan dan terwujud Goal Congruence dalam institusi pendidikan.

Dapatkah perilaku belajar anda berubah secara radikal?

Tanpa keradikalan tidak akan ada perubahan, namun dibutuhkan syarat-syarat dari perubahan yang akan saya ciptakan sehingga usaha-usaha perubahan akan terus berjalan. Segala sesuatu pasti berubah kecuali perubahan itu sendiri.

Apa yang paling mengusik anda dari gagasan dalam artikel ini?

Kemampuan berbahasa asing, kemampuan berbahasa belanda dengan baik pada masa kolonialisme merupakan alat bukti keterpelajaran seseorang. Bahassa tersebut sebagai pembuka skat informasi dunia. Saat ini di era globalisasi peran bahasa internasional sebagai alat akses informasi tentunya semakin penting. Maka, setelah ini hal yang akan saya lakukan adalah mempelajari kembali bahasa internasional.


1Penulis “Kajian Wajib Mahasiswa Abad 21”, “Jalan Buntu Pendidikan Indonesia”, “Peran Intelektual Progresif dalam Mewujudkan Pendidikan yang Ilmiah, Demokratis, dan Mengabdi Pada Rakyat”